Kamis, 22 Juli 2010

BENIH GURAME


Benih Gurame, Ilmu Warisan di Kaki Gunung Slamet

Sebagian lahan persawahan kas desa atau yang dikenal dengan istilah “bengkok” itu disulap menjadi petakan kolam pendederan benih gurame. Sejauh ini, baru 5 hektar yang dialihfungsikan menjadi kolam, dari 40-an hektar lahan sawah yang ada. Tapi tak menutup kemungkinan penggunaannya bakal diperluas. Sebagaimana keterangan yang diberikan Katam, kepala desa setempat, Desa Beji, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. “Itu tahap awal, jika potensi mendukung bisa saja seluruh lahan yang ada akan dialihkan menjadi lahan pendederan,” tutur Katam. Ia salah satu kades di wilayah Kedungbanteng yang antusias merespon gagasan menjadi sentra benih gurame.

Kabupaten Banyumas telah bertekad membangun wilayahnya dengan konsep minapolitan. Dan dengan alasan potensi yang ada, gurame dipilih sebagai komoditas unggulan. Dalam kerangka itu, Kecamatan Kedungbanteng difokuskan sebagai sentra pembenihan dengan didukung dua kecamatan tetangga, Baturraden dan Karanglewas. Dipilihnya daerah tersebut sebagai pusat pembenihan tak lepas dari karakter kultur, iklim dan sumber daya alam yang mendukung untuk produksi benih. Khaeruri, salah satu pembenih Gurame asal Desa Beji mengatakan, potensi pengembangan benih belum tergarap optimal. Lahan yang dimungkinkan digarap masih luas.

Terletak di kaki Gunung Slamet, tak jauh dari bumi wisata pegunungan Baturraden, Khaeruri mengisahkan, Desa Beji sudah dikenal sebagai daerah pembenih sejak ratusan tahun silam. Kakek berumur 62 tahun ini mengaku sejak kecil telah mendapat ilmu membenih dari pendahulunya. Dan ia bertekad setia menekuni usaha warisan tersebut. Pandangan serupa menurut Khaeruri, banyak diyakini masyarakat di sekitarnya. Tak sedikit yang menjadikan usaha pembenihan sebagai sumber pendapatan utama keluarga. “Hampir setiap keluarga di Beji memiliki indukan, setidaknya 2 pasang,” kata Khaeruri yang juga Ketua Kelompok Tani Setya Maju.

Penggunaan lahan bengkok desa, diterangkan Katam, memberlakukan sistem sewa. Untuk tiap bahu –demikian masyarakat biasa menggunakan istilah untuk luasan lahan sawah— atau sekitar 7.000 m2 dikenakan tarif 3,5 juta per tahun yang harus disetor ke kas desa. Dengan dana itu masyarakat berhak atas penggunaan lahan plus mendapat fasilitas pembuatan akses jalan menuju kolam dan beberapa kebutuhan peralatan kolam yang dimiliki secara bersama-sama.

Gagasan ini lahir karena lahan yang dimiliki masyarakat terbatas dan akses perairan juga kurang mendukung. Dengan sistem dibuat kelompok, diharapkan pengelolaan usaha akan jadi lebih mudah. Persoalan teknis dan persaingan akan dengan lebih baik terselesaikan. Bukan tidak mungkin, Katam mengurai asa, daerah Beji didesain menjadi kampung wisata gurame.

Permintaan Tak Ada Habisnya

Produksi telur calon benih gurame dari Beji sekitar 6 juta di kala musim kemarau, dan mencapai 10 juta saat air melimpah di musim penghujan. Benih dalam bentuk telur asal Beji ini menurut Katam diakui oleh BBAT Sukabumi (Balai Budidaya Air Tawar) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai benih bermutu.

Selain diserap daerah sekitar seperti Purbalingga, Banjarnegara, Tegal dan Cilacap, benih tersebut banyak dipasarkan ke luar daerah, utamanya Tulungagung. Seorang tengkulak benih, Nur Rachiem mengungkapkan, saban pekan ia mengirim pesanan benih sampai 4 juta ke Tulungagung. Masih ada lagi pesanan dari DIY dan Jawa Barat yang kerap membuatnya kewalahan melayani. Telur-telur itu dibelinya dari petani seharga Rp 15 – 20 per butirnya. “Tapi pernah juga mencapai Rp 35,” sambung Rachiem.

Permintaan sepanjang 2009 diakui Rachiem meningkat. “Bisa dikatakan permintaanya tak terbatas mas, tidak ada habisnya!” ujarnya. Ironisnya, musim yang tak menentu sebagaimana belakangan terjadi menjadikan produksi tidak dapat diandalkan.TROBOS

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 Mina Lestari | by BDA