Kamis, 22 Juli 2010

PRODUKSI BELUT



Pematang, Tempat Produksi Bibit Belut

Iwan Hermawan, pembudidaya belut yang juga Ketua Kelompok Tani Mitra Sukses Bandung, Jawa Barat, berhasil menerapkan teknik budidaya yang tidak hanya menghasilkan belut ukuran konsumsi, tetapi bibit belut (anakan) sekaligus.

Ini seolah menjawab persoalan ketersediaan bibit belut. Fakta menunjukkan, kebanyakan pembudidaya belut masih mengandalkan bibit hasil tangkapan alam untuk dibesarkan. Proses pemijahan belut yang sulit ditengarai menjadi penyebabnya. Tak heran apabila lebih banyak pembudidaya memilih menjalankan usaha pembesaran, bukan pemijahan atau pembibitan.

Sebagaimana diakui Ruslan Roy, Direktur PT Dapetin, pengusaha budidaya dan ekspor belut. Ditemui TROBOS (8/8) di kantornya, Roy membenarkan sebagian besar pembudidaya belut masih mengandalkan bibit hasil tangkapan alam. “Kalaupun didapatkan anakan pada kolam pembesaran, itu hanya sebuah kebetulan akibat ‘perkawinan dini’ belut,” kata Roy. Tentu saja, hasil pemijahan seperti ini tidak dapat dijadikan andalan pasokan bibit.

Roy mengaku, bersama para mitranya, Dapetin sampai saat ini baru dapat memenuhi sekitar ½ ton permintaan bibit tiap bulannya. Sementara permintaan total bibit, menurutnya, sekitar dua ton per bulan. “Bahkan terkadang mencapai 5 ton per bulan,” imbuhnya.

Hasil Mengamati

Teknik budidaya yang diaplikasikan Iwan, diutarakannya, merupakan hasil pengamatan langsung di persawahan. Ia menemukan, di habitat aslinya belut biasa bertelur di tepian pematang sawah. “Belut senang bertelur di sekitar pematang sawah yang tidak tergenang air. Ciri sarang belut adalah adanya sekumpulan busa. Jika menemui kondisi seperti ini bisa dipastikan ada belut yang sedang berpijah atau bertelur,” jelas Iwan saat diwawancarai TROBOS di rumahnya (26/8). Karena itu, perbedaan utama teknik budidaya Iwan dengan teknik budidaya belut umumnya adalah keharusan adanya pematang di lokasi budidaya sebagai tempat belut memijah.

Kendati berhasil mengidentifikasi kebiasaan belut dan mampu mengembangkan bibit, Iwan mengaku belut belum mampu memenuhi besarnya kebutuhan belut di pasaran. “Selama ini kami baru bisa memasok bibit sekitar 5 kuintal per bulan,” kata Iwan yang memiliki 10 anggota pembudidaya belut di kelompoknya. Menurutnya, permintaan bibit belut mencapai 1-2 ton per bulan datang dari Tasikmalaya, Garut, Jawa Tengah sampai Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

“Itupun belum sepenuhnya dari hasil budidaya. Sebagian masih mengandalkan hasil tangkapan alam, 60% bibit hasil budidaya dan 40% bibit hasil tangkapan alam,” sebut Iwan.

Siapkan Lahan dan Media

Budidaya belut dilakukan Iwan di persawahan menggunakan sistem mina padi atau kolam tanah. Tidak seperti layaknya sawah dengan pematang hanya di pinggiran, areal persawahan atau kolam yang ditebar bibit belut memiliki beberapa buah pematang.
“Proses dimulai dengan menggali tanah atau areal persawahan sedalam sekitar 70 cm. Luasan lahan budidaya tergantung lahan yang dimiliki. “Bisa menggunakan lahan berukuran 2 x 2 meter hingga 5 x 5 meter tergantung ketersediaan,” jelas Iwan. Di bagian tengah sawah atau kolam dibuat kembali galian lebih dalam sekitar 30 cm dengan ukuran 1 x 1 meter atau menyesuaikan ukuran lahan. Ceruk ini berfungsi saat pemanenan.

Plastik dibentang di sekeliling sawah (dinding dalam). “Dipasang sampai kedalaman sekitar 30 cm, tujuannya mencegah belut kabur. Sementara, bagian bawah dibiarkan berupa tanah karena belut tidak dapat kabur melalui bawah,” jabar Iwan. Cara lain, sekeliling kolam budidaya dapat ditembok dengan dasarnya tetap berupa tanah. Setelah itu dibuat pematang. Tinggi pematang sekitar 20 cm dengan lebar minimal 30 cm. “Jika kurang lebar pematang mudah rusak, terutama saat musim hujan,” kata Iwan.

Menurut Iwan, media paling baik yang dapat digunakan untuk budidaya belut adalah tanah sawah yang sudah berupa lumpur halus seperti pasta. “Jika ditusuk menggunakan kayu media meninggalkan bekas lubang. Tidak seperti bubur encer,” terang Iwan. Ia tidak menyarankan menggunakan tanah darat, meskipun sebelumnya telah dimatangkan. “Tanah darat yang dimatangkan teksturnya tetap kasar dan cepat memadat saat budidaya,” kata Iwan.TROBOS

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 Mina Lestari | by BDA