Kamis, 22 Juli 2010

SENTRA GURAMI



Banyumas: Sentra Gurame yang Kurang Benih

Sebagian benih masih didatangkan dari luar kawasan, bahkan dari Jawa Timur
Ikan gurame produksi daerah Purbalingga dan sekitarnya lebih banyak diminati dan dipilih konsumen ketimbang ikan sejenis dari daerah lain. Bahkan para pedagang berani membeli ikan-ikan gurame asal eks Karesidenan Banyumas atau kawasan yang kerap diistilahkan dengan “Barlingmas Cakeb” (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, cilacap dan Kebumen) ini dengan harga di atas rata-rata gurame dari luar daerah. Ini disampaikan Ketua KTT (Kelompok Tani Ternak) “Mina Dipakerti I” Bukateja – Purbalingga, Umar Thoyib, kepada TROBOS saat ditemui beberapa waktu lalu. Ia mengambil contoh, apabila gurame ukuran 2 – 3 ekor/kg pasokan dari daerah Jawa Timur biasanya dilepas dengan harga Rp 22.000 per kg, maka ikan herbivora asal eks Karesidenan Banyumas tersebut berani ditawarkan dengan harga Rp 24.000 tiap kg-nya. Masih menurut Umar, ini lantaran gurame hasil budidaya daerah kaki Gunung Slamet ini punya kelebihan tak berbau lumpur/tanah dan dagingnya dinilai lebih gurih. Permintaan pun sejauh ini terus deras mengalir. “Bisa dibilang kewalahan melayani order mas,” ujarnya sambil senyum simpul. Setengah terkekeh, ia menyambung, “Buat yang sudah paham gurame, harga tak jadi soal. Beli gurame Purbalingga nggak bakal kecewa.”

Karakter alam yang kaya akan air membuat daerah ini potensial sebagai penghasil utama perikanan air tawar. Dan komoditas gurame menjadi unggulan, salah satu pendorongnya karena budidaya gurame tak banyak menuntut waktu. “Sehari paling banter waktu kerja hanya 2 jam untuk memberi makan dan cek kualitas air pagi dan sore,” sebut Mujahidin, salah seorang rekan seprofesi Umar. Sehingga tak mengherankan, kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), karyawan maupun pamong desa setempat merangkap sebagai pembudidaya gurame. Sebagaimana halnya Mujahidin, yang seorang sekretaris desa (sekdes).



Sumber pakan pun demikian melimpah tersedia. Menurut Umar, ia dan kawan-kawan menitikberatkan pakan lebih pada pemanfaatan dedaunan (sente atau kangkung) yang banyak ditanam di tepian kolam. Kendati ia tak menyangkal pakan pabrikan digunakan untuk memacu pertumbuhan. Di samping itu, faktor benefit yang berlipat juga jadi pendorong maraknya bisnis budidaya gurame di Purbalingga, terutama pembesaran.

Menurut Umar, rata-rata pembesaran yang dilakukan di kelompoknya, adalah sampai umur 15 – 16 bulan dari semula benih sebesar korek api (umur 3 – 4 bulan). Produksi yang dihasilkan dari kelompok budidaya pembesaran dengan luasan lahan sekitar 4,5 ha ini setiap hari berkisar 5 kuintal. “Setidaknya 30 ton per tahunnya. Dengan pasar meliputi Banjarnegara, Purwokerto dan Cilacap,” imbuh Umar.

Kegiatan usaha budidaya gurame kian bergairah, terlebih setelah belakangan mendapatkan dukungan yang memadai dari aspek permodalan. “Usaha yang ditekuni dengan serius, dijamin tawaran modal akan datang dengan sendirinya. Baik itu dari bank ataupun modal swasta lainnya,” tandas Mujahidin. Ia juga mengaku, anggota kelompoknya berhasil mendapatkan modal kredit dari PT Telkom bunga 6%. Bahkan kemudian diikuti oleh sebuah bank BUMN, yang dimanfaatkan para pembudidaya di sekitarnya. Soal pembayaran kredit, dengan tegas Mujahidin mengatakan tak ada yang ngemplang. “Bahkan dengan suku bunga 10% pun pembudidaya masih berani meminjam,” ujarnya setengah sumbar.

Hartono, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Purbalingga memberikan keterangan, produksi gurame Purbalingga pada 2009 tercatat 2130 ton sementara di 2014 ditargetkan mencapai 2600,5 ton. Ia menegaskan, upaya peningkatan produksi perikanan gurame di wilayahnya merupakan salah satu bentuk ikut menyukseskan program pemerintah menjadi jawara perikanan dunia. Dan sumber daya alam serta sumber daya manusia di Purbalingga sangat mendukung untuk pengembangan gurame. Hartono mengaku, pihaknya bakal menggandeng Dinas Pekerjaan Umum (PU) guna memperbaiki sistem pengairan dan infrastruktur lainya. “Irigasi dan ketersediaan air di daerah ini melimpah, meski demikian masih perlu dioptimalkan,” ujarnya.

Soal Benih

Ketersediaan benih unggul dan kontinyuitasnya masih menjadi “pekerjaan rumah” (PR). Ini diakui Hartono, “Sejauh ini pasokan benih dari luar seperti Banjarnegara, Cilacap bahkan Jawa Timur masih dilakukan.” Maka, untuk meningkatkan kemandirian, pembenihan rakyat akan digarap lebih serius. Ini diutarakan Sediyono, Kabid Perikanan Disnakan Purbalingga. “Upaya ketersediaan benih akan dikembangkan skala tani rakyat dan mengelompok.” Langkah ini dipilih dengan alasan, transfer teknologi akan dapat terserap lebih optimal dan merata, serta koordinasi dan pembinaan lebih mudah dilakukan.TROBOS

0 komentar:

Posting Komentar

 

©2009 Mina Lestari | by BDA