Kamis, 22 Juli 2010

UDANG GALAH



Budidaya Udang Galah ?Sistem Tangga?

Budidaya udang galah selama ini baru bisa dilakukan dengan kepadatan rendah, hanya berkisar 10 ? 15 ekor/m2. Tak seperti vannamei yang berenang-renang, udang galah lebih senang ngendon di dasar kolam.

Berangkat dari fakta itu maka pada 2007, timbullah ide dari Jarot untuk menggunakan bagian atas/permukan kolam guna pembesaran benur (benih udang) hingga menjadi tokolan (benih udang ukuran 2 ? 3 cm). Menurut Kepala Bidang Budidaya Udang Galah PERMINA (Perkumpulan Masyarakat Perikanan Nusantara) tersebut, permukaan kolam sebenarnya tak pernah terjamah si capit biru yang terkenal tak suka berenang.

Caranya dengan menggelar hafa (semacam jaring) di kolom bagian atas sebagai media pendederan. Sementara manajemen budidaya pembesaran udang galah di bagian bawah dari hafa sama saja dengan budidaya biasa. Hanya, pengontrolan kesehatan udang dan kualitas airnya harus lebih intensif. ?Tapi jika menghitung hasilnya, saya rasa sepadan,? kata Jarot. Tetapi ia menggarisbawahi, keberhasilan budidaya dengan teknik tersebut mutlak didukung kualitas air yang sangat bagus.

Hemat Lahan

Jarot kembali menyebutkan, kolam untuk membuat tokolan berkapasitas 24 ribu ekor biasanya memerlukan lahan seluas 120 ? 250 m2 (tergantung kepadatan, kualitas air dan sistem sirkulasi air). Tapi dengan sistem tangga ini bisa dihemat dengan 8 set hafa berukuran masing-masing 1 x 6 x 1 m2. Alhasil, kolam yang semula hanya dipakai untuk pembuatan tokolan kini bisa dipakai sekaligus untuk pembesaran.

?Daripada kolam dipakai untuk pendederan tok lebih baik untuk pembesaran juga. Pendederannya dipindah ke bagian atas kolam dengan menggelar hafa,? tandas lulusan Fakultas Teknik UGM ini. Karena memanfaatkan permukaan dan dasar kolam secara bersamaan itulah sistem ini kemudian dipopulerkan sebagai sistem tangga.

Hasilnya, panen dalam satu kolam bertahap hingga tiga kali. Dua kali panen tokolan dan satu kali panen udang galah konsumsi. ?Baik struktur fisiknya maupun siklus panennya seperti tangga,? kata Jarot dengan mata berbinar-binar.

Selain sebagai tempat membesarkan benur hingga menjadi tokolan, hafa ini juga berfungsi untuk menjauhkan calon tokolan dari predator. Selain itu juga bisa mengurangi risiko kegagalan panen tokolan pada kolam tanah/sawah akibat kebocoran pematang (menyebabkan benur/tokolan lolos ke saluran pembuangan).

Kasus panen tak maksimal karena tokolan tertimbun lumpur juga bisa dihindari. ?Sistem ini juga cocok dikembangkan di daerah yang tanahnya berlumpur,? tegas Jarot. Dengan keunggulan itu, tak heran panen tokolan bisa mencapai SR hingga 80%, sangat jauh dari rerata panen tokolan kolam sawah yang hanya 60% saja.

Efisiensi lahan dicapai dengan meningkatkan kepadatan benur di dalam hafa hingga mencapai 600 ? 650 ekor/m2. Angka ini jauh melampaui kepadatan tebar pendederan benur di kolam sawah yang hanya 100 ? 200 ekor/m2. Ia pun menyatakan baru saja seminggu panen tokolan dari hafa sistem tangga itu. ?Rata-rata SR 80%. Ada satu hafa yang 70%, karena sempat bocor hafanya, sehingga benur lolos,? papar pria yang pernah 3 tahun bekerja di Jepang ini.

Manajemen Hafa

Menurut Jarot, setiap kolam pembesaran bisa dihampari hafa untuk pendederan hingga 20% dari luasan kolam. Jarak antar hafa 80 cm ? 1m. Agar tak tenggelam, hafa diikat pada patok-patok bambu setinggi 1,5 m yang ditancapkan ke dasar kolam. Patok yang terlihat di permukaan air diusahakan minimal setinggi 20 cm agar tali tak mudah lepas. Patok ini ditancapkan setiap 2 m di sisi terpanjang hafa.

Agar benur tidak kekurangan oksigen, dipasang aerasi sistem kricik alias mengalirkan air di atas hafa. Pipa melintang di lubangi sisi samping, sehingga setiap hafa memperoleh 2 lubang yang alirannya menuju arah yang berbeda. Menurut Jarot, air ini harus mengalir 24 jam penuh. Pompa yang diadaptasi dari pompa air celup untuk taman itu hanya mati saat dibersihkan filter-nya setiap 3 hari sekali.TROBOS
[ ... ]

BENIH GURAME


Benih Gurame, Ilmu Warisan di Kaki Gunung Slamet

Sebagian lahan persawahan kas desa atau yang dikenal dengan istilah “bengkok” itu disulap menjadi petakan kolam pendederan benih gurame. Sejauh ini, baru 5 hektar yang dialihfungsikan menjadi kolam, dari 40-an hektar lahan sawah yang ada. Tapi tak menutup kemungkinan penggunaannya bakal diperluas. Sebagaimana keterangan yang diberikan Katam, kepala desa setempat, Desa Beji, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. “Itu tahap awal, jika potensi mendukung bisa saja seluruh lahan yang ada akan dialihkan menjadi lahan pendederan,” tutur Katam. Ia salah satu kades di wilayah Kedungbanteng yang antusias merespon gagasan menjadi sentra benih gurame.

Kabupaten Banyumas telah bertekad membangun wilayahnya dengan konsep minapolitan. Dan dengan alasan potensi yang ada, gurame dipilih sebagai komoditas unggulan. Dalam kerangka itu, Kecamatan Kedungbanteng difokuskan sebagai sentra pembenihan dengan didukung dua kecamatan tetangga, Baturraden dan Karanglewas. Dipilihnya daerah tersebut sebagai pusat pembenihan tak lepas dari karakter kultur, iklim dan sumber daya alam yang mendukung untuk produksi benih. Khaeruri, salah satu pembenih Gurame asal Desa Beji mengatakan, potensi pengembangan benih belum tergarap optimal. Lahan yang dimungkinkan digarap masih luas.

Terletak di kaki Gunung Slamet, tak jauh dari bumi wisata pegunungan Baturraden, Khaeruri mengisahkan, Desa Beji sudah dikenal sebagai daerah pembenih sejak ratusan tahun silam. Kakek berumur 62 tahun ini mengaku sejak kecil telah mendapat ilmu membenih dari pendahulunya. Dan ia bertekad setia menekuni usaha warisan tersebut. Pandangan serupa menurut Khaeruri, banyak diyakini masyarakat di sekitarnya. Tak sedikit yang menjadikan usaha pembenihan sebagai sumber pendapatan utama keluarga. “Hampir setiap keluarga di Beji memiliki indukan, setidaknya 2 pasang,” kata Khaeruri yang juga Ketua Kelompok Tani Setya Maju.

Penggunaan lahan bengkok desa, diterangkan Katam, memberlakukan sistem sewa. Untuk tiap bahu –demikian masyarakat biasa menggunakan istilah untuk luasan lahan sawah— atau sekitar 7.000 m2 dikenakan tarif 3,5 juta per tahun yang harus disetor ke kas desa. Dengan dana itu masyarakat berhak atas penggunaan lahan plus mendapat fasilitas pembuatan akses jalan menuju kolam dan beberapa kebutuhan peralatan kolam yang dimiliki secara bersama-sama.

Gagasan ini lahir karena lahan yang dimiliki masyarakat terbatas dan akses perairan juga kurang mendukung. Dengan sistem dibuat kelompok, diharapkan pengelolaan usaha akan jadi lebih mudah. Persoalan teknis dan persaingan akan dengan lebih baik terselesaikan. Bukan tidak mungkin, Katam mengurai asa, daerah Beji didesain menjadi kampung wisata gurame.

Permintaan Tak Ada Habisnya

Produksi telur calon benih gurame dari Beji sekitar 6 juta di kala musim kemarau, dan mencapai 10 juta saat air melimpah di musim penghujan. Benih dalam bentuk telur asal Beji ini menurut Katam diakui oleh BBAT Sukabumi (Balai Budidaya Air Tawar) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai benih bermutu.

Selain diserap daerah sekitar seperti Purbalingga, Banjarnegara, Tegal dan Cilacap, benih tersebut banyak dipasarkan ke luar daerah, utamanya Tulungagung. Seorang tengkulak benih, Nur Rachiem mengungkapkan, saban pekan ia mengirim pesanan benih sampai 4 juta ke Tulungagung. Masih ada lagi pesanan dari DIY dan Jawa Barat yang kerap membuatnya kewalahan melayani. Telur-telur itu dibelinya dari petani seharga Rp 15 – 20 per butirnya. “Tapi pernah juga mencapai Rp 35,” sambung Rachiem.

Permintaan sepanjang 2009 diakui Rachiem meningkat. “Bisa dikatakan permintaanya tak terbatas mas, tidak ada habisnya!” ujarnya. Ironisnya, musim yang tak menentu sebagaimana belakangan terjadi menjadikan produksi tidak dapat diandalkan.TROBOS
[ ... ]

PRODUKSI BELUT



Pematang, Tempat Produksi Bibit Belut

Iwan Hermawan, pembudidaya belut yang juga Ketua Kelompok Tani Mitra Sukses Bandung, Jawa Barat, berhasil menerapkan teknik budidaya yang tidak hanya menghasilkan belut ukuran konsumsi, tetapi bibit belut (anakan) sekaligus.

Ini seolah menjawab persoalan ketersediaan bibit belut. Fakta menunjukkan, kebanyakan pembudidaya belut masih mengandalkan bibit hasil tangkapan alam untuk dibesarkan. Proses pemijahan belut yang sulit ditengarai menjadi penyebabnya. Tak heran apabila lebih banyak pembudidaya memilih menjalankan usaha pembesaran, bukan pemijahan atau pembibitan.

Sebagaimana diakui Ruslan Roy, Direktur PT Dapetin, pengusaha budidaya dan ekspor belut. Ditemui TROBOS (8/8) di kantornya, Roy membenarkan sebagian besar pembudidaya belut masih mengandalkan bibit hasil tangkapan alam. “Kalaupun didapatkan anakan pada kolam pembesaran, itu hanya sebuah kebetulan akibat ‘perkawinan dini’ belut,” kata Roy. Tentu saja, hasil pemijahan seperti ini tidak dapat dijadikan andalan pasokan bibit.

Roy mengaku, bersama para mitranya, Dapetin sampai saat ini baru dapat memenuhi sekitar ½ ton permintaan bibit tiap bulannya. Sementara permintaan total bibit, menurutnya, sekitar dua ton per bulan. “Bahkan terkadang mencapai 5 ton per bulan,” imbuhnya.

Hasil Mengamati

Teknik budidaya yang diaplikasikan Iwan, diutarakannya, merupakan hasil pengamatan langsung di persawahan. Ia menemukan, di habitat aslinya belut biasa bertelur di tepian pematang sawah. “Belut senang bertelur di sekitar pematang sawah yang tidak tergenang air. Ciri sarang belut adalah adanya sekumpulan busa. Jika menemui kondisi seperti ini bisa dipastikan ada belut yang sedang berpijah atau bertelur,” jelas Iwan saat diwawancarai TROBOS di rumahnya (26/8). Karena itu, perbedaan utama teknik budidaya Iwan dengan teknik budidaya belut umumnya adalah keharusan adanya pematang di lokasi budidaya sebagai tempat belut memijah.

Kendati berhasil mengidentifikasi kebiasaan belut dan mampu mengembangkan bibit, Iwan mengaku belut belum mampu memenuhi besarnya kebutuhan belut di pasaran. “Selama ini kami baru bisa memasok bibit sekitar 5 kuintal per bulan,” kata Iwan yang memiliki 10 anggota pembudidaya belut di kelompoknya. Menurutnya, permintaan bibit belut mencapai 1-2 ton per bulan datang dari Tasikmalaya, Garut, Jawa Tengah sampai Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

“Itupun belum sepenuhnya dari hasil budidaya. Sebagian masih mengandalkan hasil tangkapan alam, 60% bibit hasil budidaya dan 40% bibit hasil tangkapan alam,” sebut Iwan.

Siapkan Lahan dan Media

Budidaya belut dilakukan Iwan di persawahan menggunakan sistem mina padi atau kolam tanah. Tidak seperti layaknya sawah dengan pematang hanya di pinggiran, areal persawahan atau kolam yang ditebar bibit belut memiliki beberapa buah pematang.
“Proses dimulai dengan menggali tanah atau areal persawahan sedalam sekitar 70 cm. Luasan lahan budidaya tergantung lahan yang dimiliki. “Bisa menggunakan lahan berukuran 2 x 2 meter hingga 5 x 5 meter tergantung ketersediaan,” jelas Iwan. Di bagian tengah sawah atau kolam dibuat kembali galian lebih dalam sekitar 30 cm dengan ukuran 1 x 1 meter atau menyesuaikan ukuran lahan. Ceruk ini berfungsi saat pemanenan.

Plastik dibentang di sekeliling sawah (dinding dalam). “Dipasang sampai kedalaman sekitar 30 cm, tujuannya mencegah belut kabur. Sementara, bagian bawah dibiarkan berupa tanah karena belut tidak dapat kabur melalui bawah,” jabar Iwan. Cara lain, sekeliling kolam budidaya dapat ditembok dengan dasarnya tetap berupa tanah. Setelah itu dibuat pematang. Tinggi pematang sekitar 20 cm dengan lebar minimal 30 cm. “Jika kurang lebar pematang mudah rusak, terutama saat musim hujan,” kata Iwan.

Menurut Iwan, media paling baik yang dapat digunakan untuk budidaya belut adalah tanah sawah yang sudah berupa lumpur halus seperti pasta. “Jika ditusuk menggunakan kayu media meninggalkan bekas lubang. Tidak seperti bubur encer,” terang Iwan. Ia tidak menyarankan menggunakan tanah darat, meskipun sebelumnya telah dimatangkan. “Tanah darat yang dimatangkan teksturnya tetap kasar dan cepat memadat saat budidaya,” kata Iwan.TROBOS
[ ... ]

IKAN MAS MUSI RAWAS


Pembenihan Ikan Mas Ala Musi Rawas

Upaya memacu produksi benih ikan mas saat ini sedang dilakukan oleh UPR (Usaha Peternak Rakyat) di Srikaton Tugumulyo, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Uniknya, mereka tidak menerapkan sistem pembenihan yang biasa dilakukan pembudidaya ikan mas lain. UPR ini menggunakan caranya sendiri, yang dinamakan dengan sistem pembenihan Musi Rawas.

Apep Saepul Mahpud, penyuluh perikanan yang membina UPR tersebut pada satu kesempatan di Bogor mengatakan Sistem Pembenihan Musi Rawas ini sebenarnya tak jauh beda dengan sistem pembenihan ikan mas yang sudah ada seperti sistem Hoper, Dubish, Cimindi, Sunda ataupun cara tradisional. Bedanya hanya pada perlakuan terhadap telur pasca pemijahan. Yakni telur sebelum ditetaskan difermentasi terlebih dahulu dalam kantong plastik/karung goni.

Perbedaan lain, pembenihan ala Musi Rawas ini tidak memerlukan kolam penetasan khusus. Telur yang telah sudah difermentasi langsung ditetaskan di kolam pendederan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Hapa (kelambu) penetasan dipasang di pinggir kolam pendederan, dan selanjutnya telur dimasukkan dalam hapa. Dalam waktu setengah jam, telur sudah akan menetas. Tetasan kemudian dibiarkan selama 2 hari sampai kuning telur (yolk sac) habis. Kemudian larva ditebarkan ke kolam dengan cara membuka hapa.

Dengan mengusung sistem pembenihan ini, Apep berhasil masuk sebagai 10 finalis Festival Karya Penyuluh Kelautan dan Perikanan (FKPKP) II beberapa waktu lalu di Bogor. Dia menyebutkan ada banyak kelebihan dari sistem pembenihan ala Musi Rawas dibandingkan sistem pembenihaan ikan mas umumnya. “Cara ini bisa meningkatkan keberhasilan hingga 100%,” katanya.

Menurut dia, dengan sistem ini daya tetas telur akan meningkat. “Kalau pembenihan biasa, dengan 3 kg induk akan diperoleh telur maksimal 40 gelas( isi sekitar 500 telur) dalam 20 hari. Tapi kalau pakai cara ini bisa menghasilkan 125 gelas,” jelasnya. Cara ini juga bisa membuat lebih cepat 24 jam dibandingkan dengan sistem biasa yang memakan waktu 2x24 jam. “Jadi bisa hemat tenaga,” imbuhnya.

Disamping itu, pembenihan Musi Rawas akan menghasilkan larva yang lebih kuat dan sehat karena tingkat pencemaran telur yang tidak menetas relatif sedikit. Tak hanya itu, ukuran benih ikan saat panen secara umum rata. Cara ini juga bisa menghindari serangan hama dan penyakit telur khususnya jamur Ichtiopthyrius multifilis sp.

Berawal dari Pemijahan

Proses pembenihan diawali dengan pemijahan. Dan baik tidaknya pemijahan akan menentukan tingkat keberhasilan dalam menghasilkan benih. Pemijahan secara alamiah pada ikan mas akan terjadi pada dini hari. Suhu air yang rendah memicu ikan untuk memijah.

Apep menggambarkan proses pemijahan yang selama ini dilakukannya. Wadah pemijahan bisa berupa bak, kolam tanah atau hapa pemijahan. Ukuran minimalnya panjang 3 m, lebar 2 m dengan kedalam air minimal 40 cm. Dilengkapi dengan saluran inlet dan outlet. Wadah pemijahan merupakan pemicu ikan untuk kawin, karena itu perlu dikondisikan sesuai dengan habitatnya. Caranya, wadah dikeringkan sampai kering betul, kemudian air diusahakan mengalir terus menerus sehingga difusi oksigen lancar.

Untuk memijahkan ikan mas ala Musi Rawas dibutuhkan induk dengan kriteria umur minimal 1 tahun, berat minimal 1,5 kg, sisik besar-besar dan merata, bagian perut membesar ke arah pengeluaran, bagian antara kedua sirip dada cekung ke dalam dan bila diraba terasa lunak, bagian perut bila diurut ke bagian urogenitalis (pengeluaran telur) akan keluar cairan kuning bahkan telur. Usahakan telur yang terlihat butirannya sudah rata dan berwarna kuning.

Desa Garung, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah (Kalteng). Seolah tak hiraukan teriknya matahari, puluhan laki-laki terjun ke kolam dan penuh semangat menangkapi patin ukuran setengah kiloan. Dengan disaksikan pejabat setempat dan pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan, warga sekitar melakukan panen perdana hasil ujicoba budidaya patin di lahan gambut. Patin-patin itu telah dipelihara selama 7 bulan. Hari itu seakan menjadi pembuktian dapatnya patin (Pangasius hypopthalmus) dibudidayakan di lahan dengan keasaman tinggi.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DKP), Made L Nurdjana menjelaskan, kegiatan tersebut sebagai realisasi dari program pemanfaatan 1,4 juta hektar lahan gambut. Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2007 menyebutkan, percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan pengembangan lahan gambut di Kalteng untuk wilayah konservasi meliputi 80% total area. “Sisanya, sekitar 330 ribu hektar dimanfaatkan untuk agribisnis termasuk perikanan,” sebut Made kepada TROBOS. “Dengan sedikit rekayasa olah kolam, masyarakat Kalteng yang umumnya tinggal di kawasan lahan gambut berpeluang membuka usaha pembesaran patin,” sambung Made.

Direktur Usaha dan Investasi, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya DKP, Lenny Stansye Syafei pun yakin, wilayah Kalteng sangat berpotensi menjadi sentra produksi patin dengan memanfaatkan sungai-sungai yang ada. “Jika produksi bisa digenjot, tidak menutup kemungkinan ada investor yang tertarik mendirikan pabrik pengolahan patin sebagai komoditas ekspor,” kata Lenny.

Dukungan Pemda

Dalam sebuah kesempatan terpisah, Gubernur Kalteng, Teras Narang menyatakan dukungannya pada pemanfaatan lahan gambut yang selama ini lebih banyak “tidur” untuk budidaya patin. ”Pulaung Pisau dan beberapa kabupaten lainnya akan saya dorong untuk mengembangkan budidaya patin. Kemudahan perizinan usaha akan diberikan bagi investor yang tertarik membangun pabrik pengolahan di Kalteng,” tegas Teras.

Panen perdana patin di kolam percontohan diperkirakan menghasilkan 2 sampai 3 ton. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran para ahli budidaya di BBAT (Balai Budidaya Air Tawar) Mandiangin Kalsel, yang memulai program pembangan patin di lahan gambut sejak Maret 2009. Kepala BBAT Mandiangin, Endang Mudji Utami menjelaskan, instalasi budidaya ikan lahan gambut lahannya diserahterimakan dari Pemerintah Kabupaten Pulau Pisau kepada Ditjen Perikanan Budidaya DKP. Luas lahan intalasi buidaya yang diserahterimakan sekitar 22 hektar. Ada 12 kolam percontohan diisi ikan patin dan 3 kolam diisi ikan nila. Masing-masing seluas 600 m2.

Lebih lanjut, Endang mengatakan, 9 kolam diisi 3 ribu ekor, 4.200 ekor, dan 6 ribu ekor dengan ukuran benih 5 sampai 8 cm. Lama pemeliharaan 7 bulan, panen ukuran rata-rata 600 gram per ekor, dan tingkat kematian sekitar 20%. Kemudian ada 1 kolam yang awalnya diisi patin ukuran 600 gram per ekor, kini dipanen dengan ukuran 2 kg per ekor. Tingkat kematiannya sekitar 10%.TROBOS
[ ... ]

SENTRA GURAMI



Banyumas: Sentra Gurame yang Kurang Benih

Sebagian benih masih didatangkan dari luar kawasan, bahkan dari Jawa Timur
Ikan gurame produksi daerah Purbalingga dan sekitarnya lebih banyak diminati dan dipilih konsumen ketimbang ikan sejenis dari daerah lain. Bahkan para pedagang berani membeli ikan-ikan gurame asal eks Karesidenan Banyumas atau kawasan yang kerap diistilahkan dengan “Barlingmas Cakeb” (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, cilacap dan Kebumen) ini dengan harga di atas rata-rata gurame dari luar daerah. Ini disampaikan Ketua KTT (Kelompok Tani Ternak) “Mina Dipakerti I” Bukateja – Purbalingga, Umar Thoyib, kepada TROBOS saat ditemui beberapa waktu lalu. Ia mengambil contoh, apabila gurame ukuran 2 – 3 ekor/kg pasokan dari daerah Jawa Timur biasanya dilepas dengan harga Rp 22.000 per kg, maka ikan herbivora asal eks Karesidenan Banyumas tersebut berani ditawarkan dengan harga Rp 24.000 tiap kg-nya. Masih menurut Umar, ini lantaran gurame hasil budidaya daerah kaki Gunung Slamet ini punya kelebihan tak berbau lumpur/tanah dan dagingnya dinilai lebih gurih. Permintaan pun sejauh ini terus deras mengalir. “Bisa dibilang kewalahan melayani order mas,” ujarnya sambil senyum simpul. Setengah terkekeh, ia menyambung, “Buat yang sudah paham gurame, harga tak jadi soal. Beli gurame Purbalingga nggak bakal kecewa.”

Karakter alam yang kaya akan air membuat daerah ini potensial sebagai penghasil utama perikanan air tawar. Dan komoditas gurame menjadi unggulan, salah satu pendorongnya karena budidaya gurame tak banyak menuntut waktu. “Sehari paling banter waktu kerja hanya 2 jam untuk memberi makan dan cek kualitas air pagi dan sore,” sebut Mujahidin, salah seorang rekan seprofesi Umar. Sehingga tak mengherankan, kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), karyawan maupun pamong desa setempat merangkap sebagai pembudidaya gurame. Sebagaimana halnya Mujahidin, yang seorang sekretaris desa (sekdes).



Sumber pakan pun demikian melimpah tersedia. Menurut Umar, ia dan kawan-kawan menitikberatkan pakan lebih pada pemanfaatan dedaunan (sente atau kangkung) yang banyak ditanam di tepian kolam. Kendati ia tak menyangkal pakan pabrikan digunakan untuk memacu pertumbuhan. Di samping itu, faktor benefit yang berlipat juga jadi pendorong maraknya bisnis budidaya gurame di Purbalingga, terutama pembesaran.

Menurut Umar, rata-rata pembesaran yang dilakukan di kelompoknya, adalah sampai umur 15 – 16 bulan dari semula benih sebesar korek api (umur 3 – 4 bulan). Produksi yang dihasilkan dari kelompok budidaya pembesaran dengan luasan lahan sekitar 4,5 ha ini setiap hari berkisar 5 kuintal. “Setidaknya 30 ton per tahunnya. Dengan pasar meliputi Banjarnegara, Purwokerto dan Cilacap,” imbuh Umar.

Kegiatan usaha budidaya gurame kian bergairah, terlebih setelah belakangan mendapatkan dukungan yang memadai dari aspek permodalan. “Usaha yang ditekuni dengan serius, dijamin tawaran modal akan datang dengan sendirinya. Baik itu dari bank ataupun modal swasta lainnya,” tandas Mujahidin. Ia juga mengaku, anggota kelompoknya berhasil mendapatkan modal kredit dari PT Telkom bunga 6%. Bahkan kemudian diikuti oleh sebuah bank BUMN, yang dimanfaatkan para pembudidaya di sekitarnya. Soal pembayaran kredit, dengan tegas Mujahidin mengatakan tak ada yang ngemplang. “Bahkan dengan suku bunga 10% pun pembudidaya masih berani meminjam,” ujarnya setengah sumbar.

Hartono, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Purbalingga memberikan keterangan, produksi gurame Purbalingga pada 2009 tercatat 2130 ton sementara di 2014 ditargetkan mencapai 2600,5 ton. Ia menegaskan, upaya peningkatan produksi perikanan gurame di wilayahnya merupakan salah satu bentuk ikut menyukseskan program pemerintah menjadi jawara perikanan dunia. Dan sumber daya alam serta sumber daya manusia di Purbalingga sangat mendukung untuk pengembangan gurame. Hartono mengaku, pihaknya bakal menggandeng Dinas Pekerjaan Umum (PU) guna memperbaiki sistem pengairan dan infrastruktur lainya. “Irigasi dan ketersediaan air di daerah ini melimpah, meski demikian masih perlu dioptimalkan,” ujarnya.

Soal Benih

Ketersediaan benih unggul dan kontinyuitasnya masih menjadi “pekerjaan rumah” (PR). Ini diakui Hartono, “Sejauh ini pasokan benih dari luar seperti Banjarnegara, Cilacap bahkan Jawa Timur masih dilakukan.” Maka, untuk meningkatkan kemandirian, pembenihan rakyat akan digarap lebih serius. Ini diutarakan Sediyono, Kabid Perikanan Disnakan Purbalingga. “Upaya ketersediaan benih akan dikembangkan skala tani rakyat dan mengelompok.” Langkah ini dipilih dengan alasan, transfer teknologi akan dapat terserap lebih optimal dan merata, serta koordinasi dan pembinaan lebih mudah dilakukan.TROBOS
[ ... ]

SIDAT


Sidat, "Gede" Dari Indramayu

Ratusan pasang mata tertuju pada Bupati Indramayu H Irianto Syafiuddin yang tengah berkutat mengangkat jaring. Dalam waktu sekejap, puluhan ikan sidat tertangkap dan berliuk-liuk di atas jaring. Tidak satu pun sidat siap panen itu berukuran kecil, minimal 700 gram per ekor, bahkan ada yang sampai 5 kg per ekor.

Masyarakat setempat benar-benar dibuat kagum melihat keberhasilan budidaya sidat yang berlokasi di di Desa Lamarantarung Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu itu. “Saya bangga ada warga Indramayu yang sukses budidaya sidat. Masyarakat sekitar bisa meniru keberhasilan ini,” kata Irianto usai acara panen perdana (23/2). Tidak kurang dari 800 kg sidat dalam 2 petak kolam dipanen pada hari itu.

Bahkan Ketua Paguyuban Patra Gesit, Syaiful Hanif, mengatakan hasil panen perdana ini belum optimal. Karena ukuran dan kualitas benih sidat yang ditebar tidak seragam. Ia bertekad, berikutnya akan melakukan optimalisasi kondisi lingkungan dan nutrisi agar hasil produksi lebih baik.

InsyaAllah, mulai bulan juni 2010 kami panen 1.000-1.500kg/petak dengan ukuran minimal 1 kg/ekor,” kata Saiful kepada TROBOS. Jenis sidat yang dibudidayakan adalah Anguilla Marmorata atau sogili, dengan luas lahan meliputi 2,5 hektar yang dibagi menjadi 10 petak lahan pembesaran dan 12 bak aklimatisasi. Hasil panen siap diekspor ke Taiwan, Eropa, Amerika, China, dan Hongkong.

Teknologi budidaya yang diterapkan dimulai dari pendederan I (dari ukuran glass eel/benih sidat dipelihara hingga elver atau 0,2-10gram/ekor) dan pendederan II (dari ukuran elver dipelihara hingga fingerling atau 10-100gram/ekor). Terakhir proses pembesaran hingga ukuran konsumsi di atas 500 gram/ekor.

Pusat Pembelajaran

Selain mengenalkan budidaya sidat, kelak paguyuban ini juga berperan sebagai pusat kegiatan belajar budidaya berbagai komoditas perikanan. Kegiatan budidaya lainnya adalah cacing sutera dan cacing Lumbricus dan Tiger, sebagai pakan alami ikan sidat dan jenis ikan lainnya. TROBOS
[ ... ]

BANDENG LESTARIKAN WADUK




Sejak tebar nener tahun lalu, tangkapan nelayan naik, air waduk lebih jernih, ancaman penyakit di KJA menurun.

Buat nelayan di Waduk Jatiluhur, air beriak di permukaan bukannya tanda tak dalam, melainkan tanda sekumpulan ikan bandeng siap ditangkap. Pemandangan riakan air di Waduk seluas 8.300 hektar itu belakangan sering terpantau.

Nelayan Jatiluhur pun kian semangat pergi menangkap ikan. Kodir yang tiap hari menampung hasil tangkapan nelayan mengakui adanya peningkatan hasil tangkapan ikan. ”Nener (benih bandeng) yang akhir tahun lalu ditebar pemerintah, sekarang mulai bisa dipanen nelayan,” kata Ketua Kelompok Pengumpul Hasil Tangkapan Nelayan Jatiluhur (Pultanur) ini kepada TROBOS awal Maret lalu di Waduk Jatiluhur.


Data program pengelolaan bersama perairan waduk di Indonesia (co-management) menunjukkan, terhitung sejak 31 Januari hingga 28 Februari 2010 total bandeng yang dipanen para nelayan Jatiluhur sekitar 15.374 kg. Produksi bandeng tersebut berasal dari kegiatan penebaran nener yang dilakukan mulai Oktober 2009 sebanyak 14 kali. Jumlah nener yang sudah ditebar mencapai 4 juta ekor dari total yang ditargetkan 10 juta ekor.

Sebelum ada bandeng, ungkap Kodir, para nelayan setempat kebanyakan menangkap jenis ikan nila, mujair, patin, dan ikan asli Jatiluhur seperti hampal, tawes, glossom serta oskar. Hadirnya bandeng otomatis membuat pendapatan nelayan bertambah. Rata-rata setiap hari, Kodir yang sudah 7 tahun menjadi bandar ikan itu, menerima hasil tangkapan bandeng antara 15-19 kg per nelayan (ukuran 6 ekor /kg).

Harga jual bandeng dari nelayan minimal Rp 6.000 per kg. Artinya, dari tangkapan bandeng saja, setiap hari nelayan bisa meraup tidak kurang dari Rp 100 ribu. Belum lagi hasil tangkapan jenis ikan lainnya. Keuntungan yang diperoleh lumayan, sebab modal untuk sekali operasi menangkap ikan hanya sekitar Rp 30 ribu untuk solar dan logistik. Selain itu, nelayan beroperasi cukup pagi hingga siang hari saja.

Para penampung ikan di Jatiluhur seperti Kodir juga antusias. ”Bandeng termasuk ikan yang mudah dijual. Pasar ikan Muara Angke Jakarta siap membeli berapa pun banyaknya bandeng yang dikirim dari Jatiluhur,” ungkap Kodir semangat. Keuntungan pun cukup besar. Dalam 1 bulan terakhir ada 15 ton bandeng yang dijual. Harga bandeng di pasar ikan Jakarta, Karawang, Bekasi, dan Bandung paling rendah Rp 8 ribu per kg. Jika dihitung tidak kurang dari Rp 120 juta uang perputaran uang dari perdagangan bandeng saja.

Manfaat Ekologis Bandeng

Jika nelayan dan bandar ikan merasakan manfaat ekonomis, para pembudidaya ikan di KJA Waduk Jatiluhur ikut merasakan manfaat ekologis dengan hadirnya bandeng. Diungkapkan Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan KJA ”Mekar Lestari”, Warisdi, setelah ada bandeng tingkat kematian budidaya ikan di KJA berkurang dratis. ”Biasanya Januari sampai Maret terjadi kematian massal di KJA, terutama ikan mas dan nila. Namun awal tahun ini musibah itu tidak dialami para pembudidaya,” kata pemilik 12 unit KJA itu. Ia juga mengakui warna perairan waduk yang terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat itu jadi lebih jernih.

Ini erat kaitannya dengan karakter bandeng sebagai ikan pemakan plankton. Menurut Peneliti Loka Riset Pemantauan Stok Ikan di Jatiluhur, Sri Endah Purnamaningtyas, bandeng berfungsi sebagai bio filter (mahluk hidup penyaring lingkungan) di perairan waduk. Sri menjelaskan, endapan sisa pakan di dasar perairan dari kegiatan budidaya KJA membuat siklus plankton berkembang cepat dan dalam jumlah yang sangat banyak (booming plankton). Plankton yang berlebih ini cenderung mengikat oksigen dalam air, sehingga kerap memicu terjadinya kematian massal ikan di KJA.

Hasil pantauan Sri, kualitas air di Waduk Jatiluhur pasca penebaran bandeng membaik. ”Indikasinya terlihat dari kandungan oksigen terlarut yang tadinya pada 2007 sebesar 2,84 mg/l menjadi 3.56 mg/l pada 2008,” jelas Sri.

Pendapat senada diungkapkan Ahli Perikanan Budidaya dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Enang Harris Surawidjaja. Menurut Enang, bandeng merupakan ikan yang hidup di kolom dan permukaan perairan. ”Keberadaan bandeng di Jatiluhur mampu mereduksi jumlah plankton yang blooming (pertumbuhan populasi plankton yang berlebihan), perairan pun jadi lebih terang (jernih),” kata Enang.

Ia menambahkan, kegiatan penebaran bandeng menciptakan hubungan saling menguntungkan antara pembudidaya KJA dengan nelayan. ”Sisa pakan budidaya KJA merupakan sumber bagi bandeng. Sebaliknya bandeng membuat lingkungan perairan lebih bersih dan menekan risiko kematian pada usaha budidaya KJA,” ujar Enang.

Co–Management & Penyuluhan

Manfaat ekonomis dan ekologis yang dirasakan para pelaku usaha perikanan di Waduk Jatiluhur merupakan bagian dari program co–management yang mulai dilaksanakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada pertengahan 2008. Program bersama pengelolaan waduk di Indonesia ini bekerjasama dengan lembaga riset dari Australia yaitu ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research).

Menurut Anggota tim program co–management, Rina, program ini bertujuan mendorong peran serta yang lebih besar dari masyarakat perikanan yang menggantungkan hidup di waduk. “Pemerintah dan masyarakat secara bersama membangun sistem pengelolaan usaha perikanan di waduk yang berkelanjutan,” kata Rina. Program ini dilaksanakan pada 3 waduk besar di Jawa Barat yaitu Jatiluhur, Cirata, dan Saguling. Khusus untuk Jatiluhur, keberhasilan program ini juga tidak terlepas dari peran pembinaan dan pendampingan yang dilakukan penyuluh perikanan. Bentuk penyuluhan yang dilakukan antar lain sistem pengelolaan penangkapan, jenis alat tangkap yang diperbolehkan, musim penangkapan, dan penguatan kelembagaan masayarakat.TROBOS
[ ... ]

OLAHAN LELE



Olahan Lele: Garap Nilai Tambah Berbuah Rupiah

Menepis stigma lele yang buruk rupa, rendahan dan tidak berkelas

Beragam kreasi olahan pangan berbahan baku lele dipastikan akan membuat ikan berkumis ini (catfish) menjadi komoditas usaha yang menjanjikan. Segala kreativitas dan keberanian mencoba sesuatu yang berbeda terus digali. Upaya mempercantik tampilan lele, membuang kesan lele yang seram, hitam, berkumis dan sedikit mirip ular, menjadi tantangan tersendiri. Tujuannya, memberi daya tarik bagi konsumen.

Antara lain dilakukan Rangga Umara, di seputar Jakarta dan sekitarmya. Pria 31 tahun ini mengembangkan bisnis kuliner modern “Pecel Lele Lela”. Kedai makan yang menyajikan berbagai menu hidangan menarik berbahan dasar lele. Berbekal kreativitas memadupadankan santapan lele dengan gaya hidup, usaha yang dirintis sejak 2006 silam itu kini sudah berkembang lebih dari 20 cabang di Jabodetabek. Dan setiap bulannya bisa meraup omset Rp 1,2 miliar, dengan keuntungan 25 – 30 %.

Usaha lele ini justru menjadi tantangan tersendiri. Lihat saja, selama ini perkembangan bisnis pecel lele cuma gitu-gitu saja dan kebanyakan masih kelas kaki lima,” ungkap Rangga kepada TROBOS awal Mei lalu.

Menurut pengamatan Rangga, lele bisa didongkrak gengsinya. Umumnya, konsumen yang tidak menyukai lele dikarenakan tampilannya yang hitam seperti ular sehingga menyeramkan. ”Saya yakin, produk olahan lele akan memiliki nilai tambah jika memiliki tampilan yang enak dilihat dan tidak menyeramkan. Saya mendorong konsumen untuk coba dulu makan lelenya, sehingga strategi awalnya adalah konsumen diberi tester agar kemudian mau beli,” jelasnya.

Kini, di kedai “Pecel Lele Lela” dapat ditemui berbagai menu olahan berbahan dasar lele, seperti lele goreng tepung, lele saos padang, lele original dan lele fillet sebagai unggulan, dan lele tomyam serta lele teriyaki sebagai menu tambahan. Bahkan, Rangga mengaku, pihaknya tengah mempersiapkan produk olahan baru berupa steak lele dan burger lele. “Sudah terbukti, yang sebelumnya tidak doyan makan lele, sekarang sudah mulai menyukainya,” ujarnya dengan senyum mengembang.

Setiap harinya, untuk memenuhi kebutuhan seluruh cabang yang ada, setidaknya sekitar 5 kuintal lele segar ukuran 6 ekor per kg harus disiapkan Rangga. Selama ini ia bekerjasama dengan “Biotrop”, Bogor dan beberapa pembudidaya di daerah Parung, Bogor sebagai pemasok.

Berkah Lele Afkir

Cerita lain adalah usaha Marsini. Lele afkir ukuran besar yang biasa dikenal dengan “bantongan” dan tidak laku dijual justru menjadi berkah tersendiri bagi perempuan asal Boyolali, Jawa Tengah ini. Dia mengembangkan usaha pengolahan dengan menyulap lele afkir menjadi makan ringan berupa keripik dan abon lele. Usaha yang telah digeluti Marsini sejak 2007 ini tiap bulannya beromset sekitar Rp 10 juta. “Awal usaha ini untuk menyiasati lele hasil budidaya yang tak laku dijual sebagai konsumsi karena ukurannya terlalu besar. Kalaupun dijual ke kolam pemancingan tidak terserap semua,” jelas Marsini.

Marsini mengatakan, dalam seminggu rata-rata ia menghabiskan 200 kg lele segar untuk diolah. Bahan tersebut terkonversi menjadi 140 kg keripik dan 60 kg abon. Bahan baku, ia memanfaatkan hasil usaha budidaya lelenya yang telah berjalan sejak 1998 dengan kapasitas 20 ribu ekor lele di 50 kolam. “Untuk lele yang berukuran sangat besar, bobot 1 kg seekor misalnya, diolah menjadi abon. Sedangkan untuk olahan keripik kulit, keripik sirip dan keripik daging, bahan bakunya adalah lele ukuran sekilo isi 3 sampai 5,” jelasnya.

Dari lele yang bernilai rendah, olahan hasil kerajinan tangan Marsini tersebut bisa dihargai dengan nilai cukup tinggi. Dalam bentuk kiloan tanpa kemasan, keripik dijual dengan harga Rp 65 ribu per kg. Selain itu, keripik juga dijual dalam berbagai ukuran kemasan plastik. Antara lain kemasan keripik kulit ukuran 120 gram dihargai Rp 15 ribu, sementara ukuran 250 gram diharga Rp 27 ribu. Untuk keripik sirip dan keripik daging dijual dalam ukuran 200 gram dengan harga Rp 18 ribu.

Selain itu, ada pula yang dikemas dalam tas kertas, yaitu campuran antara keripik daging dan sedikit keripik kulit ukuran 120 gram dengan harga Rp 15 ribu. “Yang dikemas dengan tas kertas ini paling banyak laku, praktis dijadikan oleh-oleh,” kata Marsini.

Sementara abon dijual dalam 2 ukuran yaitu kemasan plastik ukuran 90 gram seharga Rp 13 ribu dan kemasan kotak kertas ukuran 200 gram seharga Rp 25 ribu. Pemasaran keripik dan abon lele tersebut meliputi kota-kota sepert Boyolali, Solo, Jogjakarta, Magelang, Salatiga, Ampel sampai Jakarta.

Mangut Lele Kaleng

Tidak kalah dengan keripik dan abon lele, Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gunungkidul mengembangkan produk mangut lele kaleng. Olahan makanan khas Jawa yang dipadu teknologi pengemasan ini merupakan hasil riset selama 3 tahun. Dan dengan menyandang merek Gading, sajian instan ini telah mendapatkan pengesahan sebagai merek dagang dari Depkumham dan lolos uji di BPOM. TROBOS
[ ... ]

TINGKATKAN CITRA LELE



Tingkatkan Citra di Sentra Lele

Menjamurnya usaha olahan berbahan dasar lele mengakibatkan permintaan menjadi tinggi. Mau tidak mau pembudidaya lele harus menyediakan pasokan yang memadai untuk memenuhi permintaan tersebut. Salah satu sentra produksi lele, meliputi budidaya dan pengolahan, adalah percontohan minapolitan Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Kabupaten ini mampu memasok tidak kurang dari 12 – 14 ton leles tiap harinya untuk permintaan daerah Boyolali dan sekitarnya seperti Jogjakarta, Solo, Salatiga dan Semarang. Di Boyolali juga berkembang beberapa UKM (Usaha Kecil Menengah) pengolahan lele menjadi abon lele, keripik kulit lele, keripik sirip lele. Diantaranya, UKM Alang – alang dan Wanita Mina Utama di Desa Mangkubumen Kec. Tegalrejo Sawit, Boyolali. UKM Alang – Alang mengolah 300 kg lele segar per minggu menjadi 100 kg abon lele, 100 kg keripik kulit dan sirip lele. Sementara UKM Wanita Mina Utama dari 500 kg lele segar per bulan menjadi 150 kg abon lele, 40 kg keripik kulit lele, 20 kg keripik sirip.

Direktur Pengolahan Ditjen P2HP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Santoso menjelaskan, lele yang hanya digoreng nilai tambahnya rendah dan segmennya terbatas. Sehingga perlu membuat bentuk lain yang bisa menjangkau masyarakat lebih banyak. Dan kepada TROBOS medio Mei lalu Santoso mengatakan, pemerintah telah mengembangkan 15 sentra pengolahan hasil perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia. Satu sentra, secara khusus, menghasilkan produk – produk dari satu jenis ikan. “Satu sentra identik dengan satu komoditas ikan. Misalnya, cari olahan ikan kakap ya ke Sidoarjo, pindang presto ya ke Pati dan kalau cari olahan lele ya ke Boyolali. Jadi kita membuat one village one product (satu kampung satu produk),” jelas Santoso.

Menurut Santoso, pengembangan sentra pengolahan lele seperti di Boyolali merupakan kawasan tertentu yang secara fungsional digunakan UKM untuk mengolah atau meningkatkan nilai tambah lele. Juga untuk memudahkan dalam pemasaran dan pembinaan.
Minat Tinggi

Senada dengan Santoso, Kepala Pusdatin KKP, Soen’an H Poernomo mengatakan, guna memacu peningkatan budidaya 10 komoditas unggulan termasuk lele, pemerintah telah mengembangkan kawasan komoditas unggulan. “Dan potensi lele itu sangat besar. Dengan pemeliharaan yang intensif diharapkan pandangan masyarakat bisa berubah bahwa lele adalah makanan yang bersih dan sehat,” ujarnya.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, Dwi Priyatmoko mengatakan, meskipun wilayah Boyolalai 70 % merupakan lahan tandus tapi minat masyarakat untuk usaha budidaya dan pengolahan lele sangat tinggi. Apalagi lele lebih mudah dibudidayakan dan daya tahannya lebih kuat. “Usaha berbahan dasar lele memiliki daya tarik karena nilai keuntungannya signifikan, sehingga sejak 2006 usaha ini cepat menyebar,” jelasnya kepada TROBOS (24/5).

Disebutkan, usaha pemijahan, pembenihan, budidaya dan pengolahan lele tersebar di Kecamatan Simo, Boyolali, Banyudono, Teras, Sawit, Sambi, Karang Gede, Nogosari dan Andong. Berbagai produk olahan lele telah dihasilkan seperti abon, keripik kulit dan sirip. Bahkan beberapa kelompok melakukan budidaya di waduk yang tersebar di sekitar Boyolali yaitu Waduk Kedung Ombo, Cengklek dan Badi.

Terkendala Benih

Sayang, tingginya animo budidaya pembesaran dan pengolahan lele di Boyolali ini tidak diimbangi dengan ketersediaan benih ukuran 7 - 11 cm yang siap dibesarkan. Padahal setiap harinya, Boyolali membutuhkan 200 - 400 ribu ekor benih ukuran tersebut. “Memang ada pemijahan dan pembenihan lele tapi hanya sampai ukuran 2 cm,” jelas Dwi. Menurut dia, pembenih tak sanggup mendederkan lele sampai ukuran 7 – 11 cm karena kurangnya modal. Pembenih biasanya menjual lele ukuran 2 cm ke pembudidaya di luar Boyolali yang terdekat seperti Salatiga, Sleman dan Magelang.TROBOS
[ ... ]

GERAMI APIK DENGAN PREBIOTIK




Aplikasi probiotik sistem Guba mampu mempercepat waktu pembenihan dan pembesaran ikan gurami.

Penerapan bioteknologi pada usaha budidaya ikan gurami membuat pembudidaya tak lagi harus menunggu lama untuk menghasilkan keuntungan. Budidaya yang biasanya memakan waktu tahunan, kini bisa diringkas menjadi hanya hitungan bulanan. Rahasianya ada pada pengunaan probiotik (kumpulan mikroba menguntungkan).

Menurut Ketua Permina (Perhimpunan Masyarakat Perikanan Nusantara), Among Kurnia Ebo, probiotik dapat diaplikasikan sejak tahap pembenihan (post larva) hingga pembesaran. Produk alami ini aman digunakan secara terus menerus. Namun, ia mengingatkan, harus disesuaikan dengan analisa usaha.

Jangan sampai biaya pembelian probiotik malah menjadi pemborosan,” kata Ebo saat berbincang dengan Trobos medio April lalu di Gubug Permina, Desa Jambidan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantu Yogyakarta. Permina mengembangkan aplikasi probiotik pada budidaya gurami diberi nama sistem Guba (Gugus Simba).

Aplikasi tersebut merupakan hasil riset dari Pusat Penelitian Antar Universitas (PPAU) bidang Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung. Dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal Permina, Usman Wiwied, Inti dari teknik ini adalah penggunaan probiotik sejak dini hingga panen di mulai dari persiapan kolam, penyiapan pakan, dan penjagaan air.

Jenis mikroba yang digunakan lebih lengkap dan terukur karena diproduksi oleh lembaga terpercaya (lihat tabel). Dengan probiotik itu, mikroorganisme ‘baik’ tumbuh di kolam. Dengan lingkungan yang baik itu, mikro organisme ‘jahat’ akan terdesak dan tidak mampu menyerang gurami. “Selain itu kecernaan pakan meningkat karena ada probiotik khusus yang dicampurkan dengan pakan,” paparnya di forum pelatihan budidaya gurame yang merupakan agenda rutin Permina setiap bulan.

Probiotik Fase Pembenihan

Penggunaan probiotik sejak tahap pembenihan sudah dirasakan manfaatnya oleh para pembudidaya gurami. Salah satunya adalah Budi Suyoto, pembudidaya gurami asal Jambidan. Budi menjelaskan, probiotik digunakan sejak benih atau larva gurami sekitar pada umur 21 hari setelah menetas atau saat mencapai panjang 2 – 3 per ekor bisa juga disebut ukuran sekuku (mana yang lebih dahulu tercapai).

Pada masa itu benih gurami sudah mampu memakan pakan buatan berbentuk tepung (D0). Sebelum itu, sejak umur 7 hari benih gurami hanya memakan cacing sutera. Pakan D0 diberikan dengan digumpalkan dengan beberapa sendok air yang telah diberi probiotik pemacu pertumbuhan (khusus untuk dicampur pakan).

Pakan buatan tersebut kemudian dibulatkan sebesar kepalan tangan orang dewasa. Pakan ini kemudian diletakkan di atas cobek atau piring lalu ditenggelamkan di dasar bak atau kolam pendederan. “Cukup 4 - 5 cobek untuk 5 ribu – 7 ribu ekor benih, pakan didalamnya akan habis dalam 2 hari,” ujar pelatih budidaya di Permina ini.

Lebih lanjut Budi mengatakan, pada umur 30 hari, pembudidaya sudah dapat memanen gurami dengan ukuran panjang 3 – 4 cm per ekor. Tanpa aplikasi probiotik, ukuran itu baru akan dicapai pada umur 40 - 45 hari. Harga rata-rata saat panen Rp 120 – Rp 140 per ekor, jauh di atas harga telur gurami yang hanya Rp 30 per butir.

Dengan menetaskan 10 ribu butir telur (rata-rata tingkat kehidupan/Survival Rate atau SR) 80% saja di bak ukutan 2 x 3 m dapat menghasilkan uang lebih dari Rp 500 ribu. Modal untuk pendederan gurami sebanyak itu hanya memerlukan cacing sutera 10 liter (Rp 10.000,-/liter) dan pakan D0 2 kg (Rp 12.000,-/kg), dan probiotik Rp 30.000,-/botol.TROBOS
[ ... ]

IKAN LALAWAK



Menguak Potensi Ikan Lalawak

Wujudnya bak ikan hias, durinya tak selebat tawes, dagingnya gurih, terlebih yang jenis “ikan lalawak jengkol”

Tak jelas mengapa ikan ini dipanggil “lalawak”. Pastilah bukan karena bisa melawak. Yang pasti ikan ini mirip tawes. Bedanya, sirip lalawak berwarna merah, demikian halnya mata dan ekornya. Ukuran sisik lebih kecil dibanding tawes dan berwarna cerah. Menarik.

Itulah sebabnya lalawak bisa dipelihara sebagai ikan hias. Bisa juga sebagai ikan lauk. Gurih, dan bobot seekornya pun bisa 1 kg atau lebih. Lalawak adalah ikan air tawar. Sungai berarus deras dan berbatu-batu adalah habitat paling nyaman bagi mereka.

Lalawak tidak sepopuler ikan lauk maupun ikan hias walaupun rasa, wujud, dan bobotnya berpotensi pasar. Iin Suhandi, Ketua Kelompok Mina Usaha, mengungkapkan, kebanyakan sungai di daerah Sumedang Jawa Barat juga dihuni lalawak. Apalagi bila sungai-sungai itu masih alami, tanpa limbah industri.

Sungai Cikandang dan Berade misalnya, termasuk hunian nyaman bagi lalawak. Bahkan pada bulan-bulan tertentu kedua sungai di Kecamatan Buahdua, Sumedang itu terjadi musim ikan berlimpah.

Iin mengatakan, ikan lalawak awalnya hanya dijadikan hobi untuk mengisi kolam. Belum banyak masyarakat yang membudidayakan ikan ini. “Tapi bisa dipastikan orang yang suka menjala dan memancing di sungai punya ikan ini di kolamnya,” kata Iin kepada TROBOS belum lama ini di Sumedang.

Lelaki dari Cileungsing, Desa Cilangkap, Buahdua Sumedang ini menuturkan, karena belum banyak yang membudidayakan, maka populasi lalawak tak pesat berkembang. Pemeliharaan yang ada dilakukan secara polikultur dengan ikan tawes, nilem, mas dan gurame.
Dicari di pasar pun sangat langka. Ini karena produksi kecil dan pemeliharaannya pun masih sambilan. Hanya masyarakat di daerah tertentu saja yang tahu ikan ini. Makanya, banyak yang mau beli, tapi sayang, ikannya tidak ada,” ujar Iin Suhandi yang sejak 1975 memelihara lalawak.

Lalawak Jengkol

Beda sungai, beda jenis ikan lalawaknya, Iin menjelaskan. Paling sedikit terdapat 3 jenis ikan lalawak. Yakni lalawak yang umum diketahui, lalawak jengkol yang berukuran lebih pendek seperti ikan louhan, dan lalawak panjang seperti ikan nilem yang umumnya ada di daerah Slawi Jawa Tengah.

Ikan ini cocok di daerah dingin dan jarang terkena penyakit. Selain duri lalawak tidak sebanyak duri tawes, rasa dagingnya pun gurih, cocok untuk dipindang, didendeng atau dipepes. “Kalau ada yang panen ikan lalawak di kolam, tengkulak atau warga sekitar biasa beli untuk dipindang dengan takaran 15 - 18 ekor per kg,” ungkapnya.

Lelaki yang hobi menjala ini mengakui, kalau dipelihara di kolam pertumbuhan lalawak lambat. Apalagi dengan pakan yang seadanya. Kalau di kolam memakai konsentrat (pakan pabrikan) butuh waktu 6 - 7 bulan.

Tetapi kalau dipelihara di air deras atau di sungai menggunakan keramba, dalam waktu 3 bulan sudah bisa dipanen. “Pernah jala saya menangkap lalawak yang beratnya lebih dari 1 kg. Dari situlah, saya berencana memelihara di air deras. Di sungai. Sekarang sedang disiapkan tempatnya,” Iin.

Pembenihan Lebih Untung

Berdasarkan pengalaman budidaya Iin, usaha pembenihan lebih menguntungkan dibanding pembesaran. Lalawak konsumsi takaran 15 - 18 ekor per kg hanya dihargai sekitar Rp 20 ribu. Sedangkan kalau menjual benih 1 liter dengan isi sekitar 300 - 400 ekor, bisa mencapai Rp 48 ribu.

Untuk menghasilkan benih ukuran 1 cm butuh waktu sekitar 2 bulan dengan keuntungan total sekitar Rp 400 ribu (satu kali panen benih dengan 5 ekor betina dan 20 ekor jantan). “Tidak perlu mengeluarkan biaya pakan karena hanya mengandalkan pakan alami. Cukup hanya mengatur aliran air dan harus sudah selesai panen padi karena benih lalawak bisa ditebar di sawah,” ujarnya.

Hal yang sama diakui Dadang Suparna, pemelihara ikan lalawak di Dusun Naringgul, Buahdua Sumedang. “ Kalau jual benih bisa lebih mahal, 1 liter berisi sekitar 300 ekor bisa dijual Rp 25-30 ribu. Sedangkan untuk ukuran konsumsi 1 kg berisi 20 ekor hanya dijual Rp 15 ribu,” ujar Dadang yang mulai pelihara ikan lalawak sejak 1986.

Untuk memijahkan, Iin menjelaskan, diperlukan media kolam tanah dalam keadaan kering dan berbau tanah agar merangsang ikan untuk kawin. Ada pula cara untuk menimbulkan bau tanah perangsang dengan membakar daun kelapa dan bata. Ciri betina yang sudah matang kelamin dan siap menjadi induk adalah semua sisik di tubuhnya kasar, dan badannya terasa lembek. TROBOS

[ ... ]

TANAM PADI PANEN NILA



Minapadi dengan ikan mas, itu sudah biasa. Tapi kalau minapadi menggunakan ikan nila , ini baru bisa dari biasa. Sistem menanam padi sambil memelihara ikan (minapadi) sebenarnya sudah lama diterapkan para petani. Sayangnya kegiatan perpaduan usaha pertanian dan perikanan ini kini hampir terlupakan.


Padahal usaha ini punya nilai tambah sendiri. Menurut Kepala Seksi Teknik Usaha Produksi BPLUPPB Kerawang, Muhammad Nurudin, dari minapadi petani dapat memperoleh keuntungan ganda dalam satu periode tanam padi. Satu dari panen padi dan satu lagi dari panen ikan. “Namun keuntungan double itu nyatanya belum cukup menarik bagi para petani,” ujar Nurudin kepada TROBOS belum lama ini di Kerawang Jawa Barat.

Nah, untuk membangkitkan semangat para petani, Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) mencetuskan gerakan tebar satu juta benih ikan nila di lahan minapadi. Meski masih dalam tahap percontohan, namun usaha pendederan (pembesaran calon benih ikan) yang coba diterapkan di lahan persawahan milik Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BPLUPPB) Kerawang hasilnya cukup baik.

Nurudin menuturkan, penerapan minapadi dengan nila punya beberapa keunggulan. Pertama, lanjutnya, nila lebih tahan terhadap kondisi lingkungan air sawah yang mengandung pestisida. Kedua, potensi pasar nila yang cukup besar dan waktu pemeliharaan relatif singkat. Jenis nila yang digunakan dalam percontohan ini adalan nila gesit.

Pemeliharaan Sederhana

Secara teknik pemeliharaan, minapadi dengan ikan mas dan dengan nila tidak jauh berbeda. “Pemeliharaannya cukup sederhana, hanya saja mungkin hasil akhir atau perolehan pendapatan lebih besar jika menggunakan komoditas nila,” tutur Nuruddin.

Dedi Sukerdi - Teknisi BPLUPPB yang diberi amanah menjalankan budidaya minapadi di BPLUPPB Kerawang, menjelaskan budidaya minapadi sebenarnya tidak terlalu rumit. “Setiap petani hanya perlu merelakan 12 % dari tiap 1 ha luas lahan sawahnya digunakan untuk tempat membesarkan ikan.

Selanjutnya ia menjelaskan, luasan lahan tersebut tersebut dibuat seperti parit yang mengelilingi sawah dengan ukuran lebar sekitar 3 meter. Ketinggian ait diatur antara 60 – 80 cm. Model dan ukuran parit yang dibuat untuk pemeliharaan ikan bisa bermacam-macam. Tergantung keinginan petani dan model sawah yang dimiliki bisa seperti parit keliling, parit tengah, parit silang, parit kombinasi (palang keliling), dan parit pengungsiang berbentuk kolam kecil di tengah petakan (refuge pond).

Faktor pemilihan lokasi juga perlu diperhatikan, sebaiknya pada lahan dengan ketinggian di bawah 800 m DPL (Di atas Permukaan Laut). Hal ini karena sangat menentukan agar pertumbuhan ikan dapat optimal. “Jenis padi yang digunakan juga harus jenis padi unggul yang mempunyai daya serap dan nilai ekonomis tinggi,” tambah Dedi.

Percontohan minapadi dengan nila ini dilakukan pada lahan sawah seluas 1 hektar. Jarak tanam padi 25 cm, dengan jumlah bibit 2 – 3 batang setiap rumpun. Lama siklus periode minapadi sekitar 110 hari. Benih nila mulai ditebar setelah umur tanam padi sekitar 30 hari. “Tujuannya untuk menghindari resiko keracunan akibat penggunaan obat-obatan atau pupuk,” jelas Dedi.
Perlu diperhatikan jenis pestisida (obat pembasmi hama) yang digunakan untuk penyemprotan dipilih yang sistemik atau tidak langsung kontak dengan lingkungan ikan. Jumlah kepadatan tebar benih nila sebaiknya 100 ekor/m2. Lama pemeliharaan membutuhkan waktu sekitar 40 - 60 hari.

Pakan yang digunakan, Dedi menjelaskan, berupa pakan alami yang memang sudah ada di sawah dan pakan pellet. Padi yang ditanam berdampingan dengan pemeliharaan ikan bisa menyuburkan lahan sawah menjadi lebih subur. “Kotoran ikan yang banyak mengandung unsur hara sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk, sebaliknya lahan yang subur itu bisa menjadi sumber pakan bagi ikan,” ujar Dedi.

Panen Dua Kali

Proses pemanenan yang tidak dilakukan bersamaan juga menjadi nilai lebih dari sistem budidaya minapadi. Tahapannya terlebih dahulu dilakukan pemanenan ikan, baru kemudian padi. “Biasanya nila dipanen pada umur pemeliharaan 60 hari, beberapa hari sebelum panen padi,” jelas Dedi.

Menurut Nuruddin juga menambahkan nila yang dipelihara termasuk dalam tahap pendederan. Nila yang dipanen digunkan untuk benih pada tahap pembesaran. Pemasaran benih nila bisa ke pembudidaya keramba jaring apung di waduk-waduk besar. TROBOS
[ ... ]
 

©2009 Mina Lestari | by BDA